Cerita ini adalah kisah nyata
dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.
Slamat membaca
***
Cinta itu butuh kesabaran,
sampai kapankah kita harus bersabar menanti cinta kita??
Hari itu aku dengannya
berkomitmen untuk menjaga cinta kita.
Aku menjadi perempuan yang paling bahagia. Pernikahan kami sederhana namun
meriah . Ia menjadi pria yang sangat romantis pada saat itu. Aku bersyukur
menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan dan mapan pula. Ketika
kami pacaran dia sudah sukses dalam karirnya, kami akan berbulan madu di tanah
suci, itu janjinya ketika kami pacaran dulu. Dan setelah menikah, aku
mengajaknya untuk umroh ke tanah suci. Aku sangat bahagia dengannya dan dianya
juga sangat memanjakan aku, sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya
pada ku. Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat
terlihat sekali suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.
Lima tahun berlalu sudah kami
menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun
kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa
memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) ditengah keharmonisan rumah tangga
kam. Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus
berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya. Alhamdulillah saat itu
suamiku mendukungku. Ia menganggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga
titipan-Nya. Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu dan
adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapatkan perlakuaan yang tidak
menyenangkan dari mereka, namun aku slalu berusaha menutupi hal itu dari
suamiku. Didepan suamiku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang
suamiku, aku dihina-hina oleh mereka.
Pernah suatu ketika satu tahun
pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulilliah
suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda itu. Ia
dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku
slalu menemaninya siang dan malam sampai kubacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku beraktivitas
sosialku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan. Namun saat
ketika aku kembali kerumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat didalam
kamarnya ada ibu, adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga aku
melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku.
Mereka tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar,
aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tidak boleh sedih
dihadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup
rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salamku.
Aku berdiam sejenak didepan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku
penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari matanya tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkanku agar memegang tangannya erat. Setelah aku
menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum” iapun
menjawab salamku dengan suara yang lirih namun penuh dengan cinta . Akupun
senyum melihat wajahnya. Lalu ibunya berbicara padaku, “Fis, kenalin ini Desi
teman Fikri”. Aku teringat cerita suamiku bahwa teman baiknya pernah
mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan ia sangat akrab denga keluarga
suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Akupun langsung
berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara didalam ruangan itu, aku tak
mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku sibuk membersihkan dan mengobati
luka-luka dikepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba
adik iparku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani kekantin.
Dan suamiku mengijinkannya, kemudian aku menemaninya.
Tapi ketika diluar, adik
iparku berkata “lebih baik kau pulang saja, ada kami yang menjaga abang disini,
kau istirahat saja”. Anehnya aku tidak diperbolehkan berpamitan denga suamiku
dengan alasan abang harus banyak beristirahatdan karna psikologisnya masih
labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan
berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan
ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan member alasan pada suamiku
mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku slalu menurut apa kata
ibunya, baik ibunya salah atau tidak, suamiku tetap saja membenarkannya,
Akhirnya aku pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak
saat itu aku tidak diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah
sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka
sangat membenciku. Hari itu aku menangis tanpa sebab, yang ada dibenakku aku
takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu pada saat aku
membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang , ia
baru saja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil
melihat ikan-ikan yang bertaburan dikolam air mancur itu. Aku bertanya “Ada apa
kamu memanggilku?”. Ia berkata “Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”.
Aku menjawab “Ia saiang aku tau, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di
trevel bag dan kamu sudah memegang tiket bukan?”. “Ya tapi aku tak kan lama
disana, cumin 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan
keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mamaku” jawabnya
tegas. “Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja disana?”
Tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa
karna ia baru memberitahukan rencana kepulangannya itu, padahal aku telh
bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya. “mama minta aku yang
menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas “sekarang aku ingin seharian
dengan kamu karna nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjutnya lagi
sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi
tak boleh aku tunjukan padanya.
Bahagianya aku dimanja dengan
suami yang penuh dengan rasa sayang dan cintanya walau terkadang ia bersikap
kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin
bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karna mereka
cemburu padaku karna suamiku saiang padaku. Kemudian aku putuskan agar ia saja
yang pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga
kami. Karna ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus
komplit. Walaupun begitu, akupun tetap tidak akan dipedulikan oleh keluarganya
harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sengang dan
akupun tak mau membuat riuh keluarga ini.
Malam sebelum kepergiannya,
aku menangis sambil membereskan keperluannya, ia menatapku dan menghapus air
mata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumau tak relakan
ia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tau apa yang akan terjadi. Aku
hanya bisa menangis karna akan ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah
ditinggal pergi selama ini, karna kami selalu bersama-sama kemanapun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan
tidak memiliki teman, karenabiasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis..
menangisi kepergiannya. Aku taktahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak,
tapi aku tak boleh berburuksangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti
akan selalu menelponku. Berjauhan dengan
suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri.Untunglah aku mempunyai
kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku takterlalu kesepian ditinggal
pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuhsakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan akumenahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Akudilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemanikudisana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi. Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akanpunya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudianaku hanya bisa memeluk adikku. Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya,”kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu. Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jikamenelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku. Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnyakhawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan ceritapadanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuhsakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan akumenahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Akudilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemanikudisana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi. Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akanpunya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudianaku hanya bisa memeluk adikku. Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya,”kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu. Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jikamenelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku. Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnyakhawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan ceritapadanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung.
Sudah
3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-fotokami,
ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku
pulangnya satu hari lagi,aku akan kabarin lagi”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja egoyang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfumkesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akanmenyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini. Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelummasuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, akumembungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku takmau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya. Masya Allah, ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naikkeruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku. Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nyasampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku padatempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas,aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku ciumkeningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja egoyang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfumkesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akanmenyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini. Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelummasuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, akumembungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku takmau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya. Masya Allah, ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naikkeruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku. Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nyasampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku padatempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas,aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku ciumkeningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.
Aku
mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya daribalkon
kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi iatak
mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawahtanpa
memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi iabegitu
cepat pergi. Aku merasa ada
yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa iabersikap tidak
biasa terhadapku? Aku tidak bisa diam begitu
saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itujuga aku langsung menelpon
kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkattelponnya, aku bercerita dan
aku bertanya apa yang sedang terjadi dengansuamiku. Dengan enteng ia menjawab,
“Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon punlangsung terputus. Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa
suamiku berubahsetelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau
berbicara padaku,apalagi memanjakan aku. Semakin
hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggungjawabnya
sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, akuselalu
diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulangterlambat dan
ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.
Bahkan
yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantanpacarku.
Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu,tapi aku
selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suamitetap di
atas para istri, itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.
Dua
tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap
malam,lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja
berkenalan. Kemesraan yang
kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetapseperti itu, aku tetap
merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan.Penyakitkupun masih aku
simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanyaperihal obat apa yang
aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadiibu pun telah aku pendam.
Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir. Bersyukurlah
aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorangguru ngaji, jadi
aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatankankerku. Aku pun
hanya berobat semampuku. Sungguh suami yang
dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadiorang asing bagiku,
setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikirsendiri. Tiba-tiba saja
malam itu setelah makan malam usai, suamikumemanggilku. “Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”. “Lusa kita siap-siap
ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.
“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan. Astaghfirullah, suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, diamembentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami. Dia mengatakan “Kau ikut saja jangan banyak tanya!!” Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabangsambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadiorang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasifoto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Akumenangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi akutak bisa. Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, sukamembanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikapketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabarmengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku.
“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan. Astaghfirullah, suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, diamembentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami. Dia mengatakan “Kau ikut saja jangan banyak tanya!!” Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabangsambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadiorang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasifoto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Akumenangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi akutak bisa. Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, sukamembanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikapketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabarmengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku.
Kami
telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidaktidur
karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana,termasuk
ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini. Aku dan suamiku pun
masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tuaitu, ia pun langsung
keluar bergabung dengan keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin
memasukkannya ke dalam lemari tuayg berada di dekat pintu kamar, lemari tua
yang telah ada sebelum suamiku lahirtiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik
padaku memanggil ku untuk bersegeraberkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke
ruang keluarga yang berada ditengahrumah besar itu, yang tampak seperti rumah
zaman peninggalan belanda. Kemudian aku
duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengankebisuan, aku tak
berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja
neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atassemuanya,
membuka pembicaraan. “Baiklah, karena kalian
telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”.Neneknya berbicara sangat
tegas, dengan sorot mata yang tajam. “Ada
apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya. Nenek pun menjawab, “Kau telah
bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun,sampai saat ini kami tak melihat
tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebabselama ini kau selalu keguguran!!”.
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari?
Untuk dihina ataukahdipisahkan dengan suamiku?
“Sebenarnya
kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikahdengannya.
Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnyamenikahlah ia
dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logatorang Sabang
seperti itu semua. Aku hanya bisa
tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya. “Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah
berkenalan dengannya”, neneknyamasih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air
matanya. Ingin akupeluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak
punya keberanian itu. Neneknya masih saja
berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannyadengan mimik wajah yang
sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana?kau dimadu atau
diceraikan?” MasyaAllah, kuatkan hati ini..
aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remukmendengarnya, hancur hatiku.
Mengapa keluarganya bersikap seperti initerhadapku. Aku selalu munutupi masalah
ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulaukayu, mereka mengira aku sangat
bahagia 2 tahun belakangan ini. “Fish,
jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab. Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang
dingin dan gemetar akumenjawab dengan tegas. “Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku,
tapi aku dapatberdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa
depan keluargaini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”
Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela
cintaku dibagi. Dan pada saat itujuga suamiku memandangku dengan tetesan air
mata, tapi air mataku tak sedikitpun menetes di hadapan mereka.
Aku
lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatkudirumah
kita nanti, yah?” Suamiku menjawab,
“Dia Desi!” Aku pun langsung menarik napas
dan langsung berbicara, “Kapan pernikahannyaberlangsung? Apa yang harus saya
siapkan dalam pernikahan ini Nek?.” Ayah
mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.” “Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di
rumah, untuk menyuruhnyamengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara
seperti itu aku permisiuntuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi air mata ini akan turun, aku berjalan
sangat cepat, aku bukapintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin
berteriak, tapi akusendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku
telah dibagi. Sakit.Diiringi akutnya penyakitku.. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama
2 tahun belakanganini? Aku berjalan menuju
ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambilbertanya-tanya, “sudah tidak
cantikkah aku ini?” Ku ambil sisirku, aku
menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihatwajahku, ternyata aku memang
sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampirhabis.. kepalaku sudah botak
dibagian tengahnya.
Tiba-tiba
pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiridibelakangku.
Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cerminmeja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima
kasih ayah, kamu memberisahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat
ditinggal pergi kamu nanti!Iya kan?.” Suamiku
mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum danbertanya
kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakaishampo.
Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?”
dan ia sudah tak memanjakankulagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita
istirahat yuk!”, “Aku sholat isya dulu baru
aku tidur”, jawabku tenang. Dalam sholat dan
dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan akuakan berbagi suami
dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini
mungkin takdirku. Akuingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan
aku atas rasa sayangdan cintanya itu.
Malam
sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah padasuamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedangtidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Akusave di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.” Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar.Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja akutakkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yangtelah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?” Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalamrumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketikakalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimanayang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karenatak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak. Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?” Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsungmenatapnya dengan mata yang berbinar-binar… “Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwakuping ini tidak salah mendengar. Dia mengangguk dan berkata, “Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”,sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkukkarena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah padasuamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedangtidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Akusave di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.” Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar.Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja akutakkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yangtelah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?” Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalamrumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketikakalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimanayang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karenatak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak. Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?” Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsungmenatapnya dengan mata yang berbinar-binar… “Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwakuping ini tidak salah mendengar. Dia mengangguk dan berkata, “Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”,sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkukkarena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Dia
tersenyum sambil berkata, “Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku danberkata,
“bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”. Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat
dan berkata, “Ayah,apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa
Ayah berubah? Akukangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku
kangen denganmanjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus
Ayah tau, bahwaaku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku
memang belumbisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku
terima, jika yangdihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku
pernah berzinaAyah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku
sambil berkata,”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”. Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti
dirinya kembali. Tiba-tibaperutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak
beres denganku dan iabertanya, “bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan
penuh khawatir. Aku pun menjawab, “bisa
memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudahmebuatku baik, Yah. Aku
hanya tak bisa bicara sekarang”. Karena dia akanmenikah. Aku tak mau membuat
dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acaraprosesi akad nikah tersebut.
Setelah
tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati inicemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku. Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begituijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu,memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yanghadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapansangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu..hatiku menangis. Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencucikakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka denganpernikahan ini?
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati inicemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku. Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begituijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu,memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yanghadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapansangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu..hatiku menangis. Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencucikakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka denganpernikahan ini?
Sementara
itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti akudahulu, yang
di musuhi. Malam ini aku tak
bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur denganperempuan yang sangat aku
cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukandidalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, laluaku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekatilalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyatatidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah,tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum danmegajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku takboleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang keJakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku” Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untukistirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lamaini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untukmengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saatini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan darisuamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, laluaku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekatilalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyatatidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah,tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum danmegajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku takboleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang keJakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku” Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untukistirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lamaini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untukmengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saatini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan darisuamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.
Suamiku
berbisik, “Bunda kok kurus?” Aku
menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”
“Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau
menyakitimu lagi. Kamu sudah seringterluka oleh sikapku yang egois.” Dengan
lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu
suamiku berkata, “Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selamaayah
di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bundaseperti
mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayahpernah
melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bundagak mau
berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“sepertiitu”).
Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalaubunda
pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahioleh
keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda” Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak
ada kepercayaan didirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah
melihat betapatulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini. Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku
tidak pernah berzinahdan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya
mengejar hartamu, mengapaaku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih
mapan darimu waktu itu Yah.Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin
setiap hari menangis karenamenderita mencintaimu.” Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena
sahabatku sendirian dikamarpengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan
masalahku dengan suamiku danberusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya
juga. Karena aku tak mau mati dalam hati
yang penuh dengan rasa benci.
Keesokan
harinya
Ketika
aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimkusakit
sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ialangsung
menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit. Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, “Bunda, Ayah minta maaf…” Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadipadaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, “Yah, bunda ingin pulang.. bunda inginbertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah” “Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget samaAyah.” Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudahtak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihatwajahnya yang tampan, berlinang air mata. Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengankalimat tahlil. Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kamimenikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku. Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampaiaku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’aagar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku,apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikritetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari duluaku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau bencidiriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikapsebaliknya.”
Aku pun dilarikan ke rumah sakit. Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, “Bunda, Ayah minta maaf…” Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadipadaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, “Yah, bunda ingin pulang.. bunda inginbertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah” “Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget samaAyah.” Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudahtak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihatwajahnya yang tampan, berlinang air mata. Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengankalimat tahlil. Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kamimenikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku. Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampaiaku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’aagar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku,apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikritetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari duluaku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau bencidiriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikapsebaliknya.”
Setelah
ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.
========================
Ayah,mengapa keluargamu sangat membenciku?
Ayah,mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku
dihina oleh mereka ayah.
Mengapa
mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah
suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adikiparku
tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah. Tapi
ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia
memanggilkudengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu
ayah?
Aku
tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti
membelaadikmu, tak ada gunanya Yah.. Aku
diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh
merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang
sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia
datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku
sangat marah. Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela
Desi danibunya..
Aku
tak mau sakit hati lagi.
Ya
Allah kuatkan aku, maafkan aku. Engkau Maha Adil.
Berilah
keadilan ini padaku, Ya Allah.
Ayah
sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.
Aku
berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu.
Aku
kuat ayah dalam kesakitan ini.
Lihatlah
ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku.
Aku
bisa melakukan ini semua sendiri ayah.
Besok
suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan
yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi
aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku
harus sadar diri.
Ayah,
sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa
harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah..
aku masih tak rela.
Tapi
aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi
nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga
saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku
ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.
Sebelum
ajal ini menjemputku.
Ayah..
aku kangen ayah..
===========
Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku
akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku
akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang
mencerminkankeceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.
Bunda
tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda
akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda..
Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi
sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutkutak
pernah di
creambathnya,
kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah
menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku takperduli, hidup
dalam kesendirianmu.
Seandainya
Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur denganbelaian
tangan Bunda yang halus.
Sekarang
Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda,
kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku
menyesal telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda..
maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat ditidurmu yang
panjang. Maafkan aku, tak
bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakanapa kata ibuku,
karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kaudi fitnah oleh
keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah
Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah
Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah
Ayah disana Bunda..
Bisakan?
Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
Ayah
Sayang Bunda..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar